Wednesday, July 25, 2012

Terobosan Baru Gula dari Bunga Dahlia

Di samping keindahannya untuk menghiasi perkarangan rumah, ternyata bunga dahlia menyimpan manfaat luar biasa sebagai bahan pengganti gula. Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) berhasil menemukan inovasi baru ini demi meningkatkan kualitas pangan.

Penelitian yang dilakukan Prof. Djumali Mangunwidjaja sejak 1991 mengenai teknologi biokonversi umbi dahlia menjadi gula fruktosa dan frukto-oligosakarida (FOS) tahun ini baru bisa diwujudkan. Peneliti Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, ini bekerjasama dengan dua rekannya, Dr. Mulyorini Rahayuningsih dan Drs. Purwoko, M.Sc.

Inspirasi penelitian ini sendiri muncul kala Djumali tengah menyelesaikan studi S-2 dan S-3 di Institut National Polytechique de Lorraine dan Universitas Nancy I, Perancis. Menurut Djumali, di Eropa, umbi chicory (Chicoryum intybus) dan Jarusalem artichoke (Helianthus turberosus) dibudidayakan dalam skala besar-besaran dan menjadi bahan baku pembuatan FOS. Chircory adalah tanaman sayuran yang berasa manis.

Djumali menemukan manfaat yang serupa dengan tumbuhan yang hanya tumbuh di daerah subtropis ini, yaitu tanaman dahlia di Indonesia. Berdasarkan informasi awal itu, dilakukanlah penelitian mengenai ekstraksi inulin; polisakarida yang tersusun atas satuan-satuan (monomer) fruktosa. Inulin, khususnya FOS, dapat meningkatkan kualitas pangan, seperti susu instan, yoghurt, es krim, dan biskuit bayi. Inulin dan FOS di dalam kolon (usus besar) akan menghasilkan asam laktat setelah melalui proses. Asam laktat ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri merugikan, mencegah konstipasi (sembelit), dan meningkatkan penyerapan kalsium untuk mencegah osteoporosis. Di samping itu, inulin dan FOS seringkali dijadikan pangan fungsional (prebiotik) dan dapat meningkatkan kekebalan tubuh.

Menurut Djumali, fruktosa juga dapat digunakan sebagai alternatif pengganti gula dan aman dikonsumsi bagi penderita diabetes melitus. Selama ini, penderita penyakit tersebut hanya mengonsumsi gula pengganti dari jagung. "Dengan temuan ini, mereka bisa menggantinya dengan gula dari umbi dahlia," papar Djumali seperti disitat dari keterangan tertulis IPB kepada Okezone, Selasa (24/7/2012).

Selain tanaman dahlia, memang ada tanaman lain yang mengandung inulin, yakni tanaman pandan, pisang, bawang merah, bawang putih, dan asparagus. Namun, kandungan inulin pada tanaman-tanaman tersebut masih rendah. Berdasarkan pengetahuan tersebut, Djumali bersama rekannya mulai melakukan penelitian mengenai dahlia, dengan memanfaatkan perkembangan teknologi untuk mengkonversi (mengubah) inulin umbi dahlia. Inulin ini bisa didapatkan dengan proses yang sederhana. Yakni dengan membuat tepung dari irisan umbi yang sudah dikeringkan. Lalu, dilarutkan ke dalam air hangat. Selanjutnya, diendapkan dengan alkohol. "Inulin diperoleh dari endapan yang dikeringkan ini" kata Djumadi.

Umbi dahlia yang kering mengandung 51.5 sampai 82 persen inulin. Sementara itu, limbah bunga potong dahlia juga menghasilkan manfaat. "Batang, daun, dan bagian lainnya bisa diolah menjadi bahan bakar alternatif (bioetanol)," imbuh Djumali yang sampai sekarang masih mengoptimalkan penemuannya ini.

Penelitian tersebut melahirkan Teknologi Biokonversi. Teknologi ini mampu memproduksi fruktosa dan FOS sekaligus. Proses ini ramah lingkungan, hemat energi, dan berkinerja tinggi. "Teknologi ini mampu mengkonversi secara sempurna (97 persen) inulin menjadi fruktosa dan FOS," ungkap Djumali.

Maka dari itu, Djumadi berharap teknologi ini bisa diintegrasikan dengan industri bunga potong dahlia agar bisa dikembangkan di wilayah pedesaan. Dengan biaya sekira Rp50 juta sampai Rp100 juta, teknologi biokonversi ini sudah bisa berkembang dengan kapasitas olah 100 liter. Peralatannya bisa dibuat di kecamatan atau kabupaten setempat. Para petani bisa membentuk kelompok tani dan membangun industri pembuatan fruktosa dan FOS. Alhasil, dari usaha ini diharapkan pendapatan para petani bisa meningkat.

Namun, kata Djumali, selama ini, industri pangan, kimia dan farmasi Indonesia masih melakukan impor inulin dan FOS dari Eropa dan Amerika Serikat hingga 100 persen. Padahal, inulin yang dihasilkan umbi dahlia kualitasnya lebih baik dari yang tersedia di pasaran dunia sekarang. Hal ini dikarenakan, inulin dari umbi dahlia saat ini masih dibanderol harga tinggi, yakni Rp7 juta per kilogram. Harga ini sangat tinggi dibandingkan dengan harga inulin yang dijual di pasaran, yang hanya Rp1 juta per 5 kg. "Tidak  hanya itu, FOS yang dihasilkan inulin dari umbi dahlia harga jualnya pun jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan harga jual fruktosanya," pungkasnya. (kampus.okezone.com/ humasristek)

Sumber :  http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/11659

No comments:

Post a Comment