Lima menit adegan itu berlangsung, gerakan mereka semakin liar dan pinggul Wiwin semakin keras bergerak, ke atas ke bawah dan ke kiri kanan. Desahan dan erangan mereka terdengar semakin lama semakin keras. Tetapi tiba-tiba Wiwin mengentikan gerakannya. Kepalanya menengok ke arah Atok yang masih berdiri tegak di sebelahnya.
"Aduuh, Mas Atok yang malang", kata Wiwin dengan lucu.
"Masih nunggu giliran yach? Sini, masukin kontolmu ke Wiwin", katanya lagi.
Tangan kanannya meraih pinggulnya dan membuka belahan pantatnya, "Ayoo Mas, cepetan".
Atok tampak bengong, "Dimasukin ke mana Win?", tanyanya.
Wiwin pura-pura jengkel, "Ya dimasukin ke pantat, bego! Belum pernah main pantat ya?", tanyanya.
Atok garuk-garuk kepala, "Ee.., belum pernah Win. Gimana rasanya?".
"Pokoknya luar biasa deh. Ayoo, cobain sekarang. Nggak sembarang cewek mau beginian loh", Katanya setengah memaksa.
Atok dengan gerakan kikuk menuruti perintah itu, dan mengarahkan kemaluannya ke lubang pantat Wiwin yang sudah setengah terbuka itu, "Begini ya Win?" tanyanya meminta konfirmasi.
Wiwin mengangguk, "Iyaa.., begitu. Coblos saja sekarang yok. Jangan ragu-ragu."
Atok menurut, dan kulihat pinggulnya bergerak ke depan. Pelan tapi pasti, batang kemaluannya melesak ke dalam lubang pantat Wiwin. Sekarang Wiwin melepaskan tangannya dari belahan pantatnya, sehingga seluruh kemaluan Atok terjepit pantat yang bahenol itu.
"Aaah.., enaak" desis Wiwin.
Kepalanya menoleh ke belakang, "Kamu enak nggak Mas?", tanyanya.
Atok mengangguk sambil mulai menggoyang pantatnya ke depan dan ke belakang.
"Hiyaah nih.., enak banget. Gua belum pernah ngerasain Win. Peret banget..".
Sambil berkata begitu ia semakin memperkuat gerakannya, sedangkan kedua tangannya meremas-remas pantat Wiwin yang bahenol.
Wiwin terkikik senang, "Gitu doong. Sekarang kita mulai main kuda-kudaan ini yah", katanya.
Dan dia segera mulai menggerak-gerakkan pantatnya lebih kuat lagi sehingga kemaluan Deni semakin cepat keluar masuk lubangnya yang sudah tampak sangat basah. Ketiga orang di depanku ini sudah tampak sangat kesetanan, terbenam nafsu yang luar biasa, sama sekali lupa pada lingkungan sekitarnya. Sedemikian kuatnya mereka memompa, sehingga terdengar suara berkecipak ketika cairan kemaluan Wiwin muncrat tertekan batang kemaluan Deni. Sekali lagi posisi dudukku yang dekat dengan pinggul Wiwin menyebabkanku dapat melihat dengan jelas bagaimana kedua batang kemaluan itu merojok-rojok kedua lubang di tubuh Wiwin.
Sekali lagi, dalam kondisi yang sangat terangsang si Wiwin masih menyimpan kesadaran. Sambil bertumpu pada kedua belah tangannya menahan tubuhnya yang semakin kuat bergoyang-goyang ditekan goyangan si Atok dan Deni, wajahnya berpaling kepadaku yang sedang duduk bengong memperhatikan.
Mulutnya tersenyum nakal, "Mas Nano, mau diemut lagi nggak? Mulut Wiwin lagi kosong nih. Yok sini..", katanya sambil mengeluarkan lidahnya menggoda.
Aku, yang masih terpesona dengan segala keadaan yang serba tidak terduga ini, menggeleng.
"Nggak deh Win. Gua udah cukup duluan. Terusin aja sama sama si Atok dan Deni", kataku.
Wiwin tertawa nakal, "Wii.., diberi kesempatan kok malah nggak mau. Ya sudah", katanya.
Ia berpaling ke Dwi, mungkin maksudnya menawarkan hal yang sama, tetapi tidak jadi ketika melihat Dwi sudah tidur telentang dengan mata menerawang ke atas. Tampaknya dia sama denganku, masih shock menghadapi segala kejadian yang begitu tiba-tiba ini.
Permainan ketiga orang di depanku tampak semakin memanas. Kulihat Atok semakin melebarkan kedua kakinya, sehingga dia kini dalam posisi berdiri terkangkang lebar-lebar dan semakin keras merojok-rojokkan batang kemaluannya ke lubang pantat Wiwin. Demikian juga Deni dalam posisi telentang semakin kuat menggoyang pantatnya ke atas, mencoblos lubang kemaluan Wiwin yang tampak semakin basah.
Akhirnya, kulihat wajah Atok meringis, "Adduuh.., akuu..", erangnya.
Dan akhirnya dia mencabut kemaluannya dari lubang pantat Wiwin, dan muncratlah air maninya, banyak sekali, menyemprot ke arah pangkal dan biji kemaluan Deni yang masih menancap di lubang memek si Wiwin.
Wiwin terkikik, "Hii.., Bang Atok udah kalah nih. Puas nggak Mas?", tanyanya sambil menoleh ke belakang, sambil terus menggoyangkan pantatnya naik turun.
Atok mengangguk, "Enak banget Win. Belum pernah aku keluar mani sebanyak ini", ujarnya sambil bergerak menjauh.
Tapi Wiwin segera memanggil, "Eeh.., mau kemana Mas. Sini Wiwin bersihin kontol mas. Lihat tuh, belepotan banget", katanya.
Diraihnya kemaluan si Atok dan ditariknya ke arah mulutnya. Dengan paksa ditariknya batang kemaluan yang sudah lemas itu dan segera dimasukkan ke mulutnya. Terdengar suara seperti orang menyeruput air ketika ia menyedot dan membersihkan kemaluan Atok dengan lidahnya.
Atok mendesah, "Win, apa elo nggak jijik.., kan ini baru keluar dari lubang pantat kamu", katanya.
Kulihat Wiwin membelalakkan matanya, sekejap mengeluarkan kemaluan Atok dari mulutnya.
"Jijik apaan.., wong napsu banget kok. Kalau udah main begini jangan omong soal jijik. Gua aja pernah dikencingin kok. Malah nikmat banget", katanya sambil mulai lagi mengulum kemaluan Atok.
Temanku yang alim itu jadi diam saja.
Pada saat itu kulihat Deni semakin blingsatan gerakannya, napasnya semakin memburu dan tangannya semakin ganas meremas buah dada Wiwin yang seperti balon.
"Win, cepetin goyangannya. Aku mau keluar", erangnya.
Wiwin (sambil terus mengulum kemaluan Atok) semakin memperkuat goyangan pinggulnya, dan akhirnya dia ikut menjerit.
"Aduuh, Mas Denii.., aku juga mau keluaar".
Kulihat tubuhnya menegang, sebelum akhirnya melemah kembali. Kulihat ke arah kemaluannya, tampak cairan membanjir keluar dari sela-sela kemaluan Deni dan bibir kemaluan Wiwin. Campuran air kenikmatan kedua insan tersebut begitu banyak, mengalir ke arah bola kemaluan Deni dan bercampur dengan air mani Atok.
Wiwin tampak sangat menikmati orgasme itu. Dia menelungkupkan badannya ke tubuh Deni, matanya tertutup dan napasnya tersengal-sengal. Tangan kanannya masih meremas-remas kemaluan Atok yang kini duduk di dekat kepala Wiwin. Deni memeluk tubuh bahenol yang ada di atasnya itu.
"Kamu puas Win? Bagaimana pelayanan kami berempat?"
Wiwin mendesah puas, tetap menutup matanya.
"Asyiklah Mas, luar biasa kalian ini. Kalau tahu begini dari dulu aku nggak perlu bingung cari-cari laki-laki pemuas napsu."
"Kan ada Roni", kata Atok menimpali.
"Memangnya dia nggak pernah beginian sama kamu?"
Wiwin mencibir, "Uuh.., si Roni?" tanyanya.
"Boro-boro. Orang alim macem itu.., tiap kali pacaran kerjanya cuman kasih nasehat doang. Paling banter cium bibir. Pegang susu aja kagak berani".
Aku tertawa menimpali, "Bego banget si Roni ya. Ada barang begini indah dia ngak mau. Gratisan lagi", kataku sambil mengelus-elus punggung Wiwin yang masih tidur telungkup di atas tubuh si Deni.
Wiwin memukul tanganku, "Enak aja, gratisan.., emangnya gua apaan?", katanya sambil tertawa.
Dia kini berusaha berdiri, tetapi limbung dan akhirnya jatuh dan tidur telentang di sebelah tubuh Deni.
"Aduuh.., gua capek sekali nih. Maklum belum sehat", katanya.
Dan seperti dikomando, mulailah serangan batuknya yang sejak kami mulai main tadi entah kenapa sama sekali berhenti. Aku pergi ke kulkas dan memberikan botol air es padanya.
"Minum dulu Win", kataku.
Dia hanya minum seteguk.
"Udah ah, aku tadi udah minum mani kalian banyak sekali. Itu kan juga obat", katanya sambil berdiri.
"Udahan dulu ya, Wiwin harus pergi ke rumah temen sekarang. Tapi Mas-Mas mau maen kaya tadi lagi kan? Wiwin pengen sekali lho, Oke?"
"Oke Wiin", jawab kami seperti koor.
"Asyiklah kalau begitu. Sekarang gua sudah dapet dua, lainnya pasti menyusul", katanya.
Aku tidak mengerti maksudnya. Wiwin berdiri, menyambar daster kebesarannya, tersenyum manis dan masuk ke kamar mandi. Tinggallah kami berempat di ruang tamu, telanjang bulat dan sama sama terdiam setengah bengong memikirkan apa yang tadi baru kami alami.
Itulah awal dari segalanya..
Mulai hari itu, Wiwin menjadi "mainan" kami. Tidak peduli pagi, siang, sore atau malam, setiap ada kesempatan kami selalu menggerayangi dan menikmati tubuhnya. Wiwin tidak pernah mengeluh, tidak pernah menolak, bahkan anehnya dia tampak "setengah memaksa" agar kita mau menikmati tubuhnya. Aku sadar dia ternyata hiperseks yang luar biasa, sangat suka permainan oral ("main emut" istilah dia), dan tidak segan-segan melakukan segala cara yang tidak lazim untuk memuaskan nafsu seks kami.
Kuliah kami jadi kacau balau, karena kami lebih suka tinggal di rumah dan melakukan pesta seks dengan Wiwin daripada pergi ke kampus. Tidak ada rasa malu lagi bagi kami untuk bersetubuh secara bergiliran (kadang-kadang Wiwin duduk di kursi dengan kaki terkangkang di sandaran tangan kursi, dan kami bergiliran menyetubuhinya). Aku sudah mulai terbiasa bangun pagi dengan "jam weker" si Wiwin (dia memang kalong, paling telat tidurnya dan paling cepat bangunnya di antara kami). Caranya membangunkan kami adalah dengan mengulum dan menarik-narik batang kemaluan kami secara bergantian, sampai kami bangun.
Kalau sudah begitu, siapa yang masih punya pikiran untuk ikut kuliah pagi?
Di pihak lain, sakit si Wiwin semakin lama semakin parah. Batuknya semakin sering, tubuhnya semakin kurus dan frekwensinya ke dokter semakin sering. Pak dan Bu Hidayat semakin kuatir dengan kondisinya, dan akhirnya Wiwin menceritakannya pada kami.
"Mas-Mas, bulan depan Wiwin akan pergi ke Belanda, ke rumah Oom Wiwin di sana. Wiwin mau berobat lebih intensif".
Aku menjadi heran, "Sebetulnya kamu sakit apa sih, Win, kok sampai begitu seriusnya harus diobati di luar negeri?", tapi si wiwin jawabannya selalu dibuat ngaco, seakan tidak mau sakitnya diketahui.
Meskipun sakit, nafsu si cewek ini seakan tidak pernah habis. Di sela-sela serangan sakitnya dia tetap melayani kami, bersetubuh dengan sangat hot dan ganas di setiap waktu. Apapun yang kami minta dia bersedia melakukan. Kami semua sudah pernah merasakan lubang kemaluannya (itu mah harus), mencoba lubang pantatnya, mulutnya, orgasme dengan dijepit buah dadanya yang berukuran super.., apa saja! bahkan kami pernah memaksa dia "mandi lulur" dengan air mani kami, digosok merata ke seluruh tubuhnya. Tidak usah dibayangkan baunya, tetapi seperti dia katakan, kalau lagi nafsu segala kejorokan akan lenyap dari pikiran.
Tetapi sebenarnya aku semakin curiga dengan cewek ini. Kenapa dia begitu ngotot meminta kami menyetubuhinya? Bahkan kadang-kadang dia jelas sedang sakit berat, suhu badan panas, tetapi dia memaksa kami untuk bersetubuh. Meskipun enggan, kami mau juga melayaninya. Soalnya kalau kami menolak dia sering marah besar.
Pada suatu hari, aku lagi main dengan dia sendirian (yang lain sedang kuliah). Dalam permainan hot kami, aku menyungkupkan mulutku ke kemaluannya dan menghisap dan menjilatinya dengan bernafsu (Oh ya, dia sudah kami suruh cukur bulu kemaluannya supaya lebih enak ngisepnya. Dan dia menurut saja). Waktu itu aku melihat ada lingkaran kehitaman di pahanya, ada tiga yang cukup besar. Waktu aku melihat ke atas, tampak ada bulatan menghitam yang sama di bawah buah dadanya.
Aku menyentuhnya dan bertanya, "Apa ini Win?", tanyaku.
Tapi dia menjawab sekenanya, "Enggak tahu, kata nenek itu kan digigit setan. Iya toh, setan genit kali..", katanya terkikik.
Aku ingin bertanya lebih lanjut tetapi didahului olehnya.
"Ayolah, pakai diskusi segala macem. Wiwin udah mau keluar nih. Terusin dong ngisepnya", katanya.
Dan lupalah aku dengan segalanya. Kami mulai bermain lagi.
Hingga tibalah suatu hari yang mengubah segalanya..
Hari itu hari Senin malam, hujan seperti dicurahkan dari langit. Di malam yang sangat dingin itu, aku, Atok dan Dwi berkumpul dengan Wiwin di ruang tamu menonton TV (Deni sedang pergi keluar). Aku duduk di sofa, Wiwin tiduran di sofa yang sama dengan kepalanya menumpu ke pahaku sebagai bantal. Kami menonton sinetron di TV, sama sekali tidak menarik dan membosankan.
Di tengah keheningan itu, Wiwin mulai dengan rayuan mautnya.
"Ngewe yok", katanya to the point seperti biasanya.
Aku yang agak demam, terasa malas memenuhinya. Apa lagi kemarin malam kami baru saja pesta orgi gila-gilaan, full team (empat orang) menghabisi tubuh bahenol si Wiwin sampai dia terampun-ampun.
"Ngantuk ah, Win..", kataku.
"Besok aku harus pagi-pagi ke kampus, bayar SPP. Entar telat, mati aku".
Wiwin memonyongkan bibirnya yang seksi.
"Males ngewe yach? Ya udah ngentot aja kalau begitu", katanya menggoda.
Tangannya mulai menyelusuri selangkanganku yang cuma terbalut sarung.
Aku tetap menggeleng, "Males ah", jawabku.
"Males ngentot? ya udah main emut ajah ya. Wiwin mau minum maninya Mas Nano sampai abis".
Tangannya sudah menyelusup ke dalam sarungku. Batang kemaluanku yang terbaring lemas diremas-remas dan dikocok dengan ahlinya. Dan seperti biasanya, aku mengalah. Dengan mendesah setengah malas, aku memelorotkan sarung dan celana dalamku.
Wiwin tertawa gembira, "Gitu doong Mas. Kan Wiwin sebentar lagi mau pergi Amsterdam. Kapan lagi kita menikmati seperti ini".
Dan tanpa basa basi lagi, dilahapnya batang kemaluanku sedalam-dalamnya, sehingga tiga perempat batangku melesak masuk mulutnya. Kurasakan kepala kemaluanku sudah menyentuh kerongkongannya.
Atok yang duduk di karpet tepat di sebelah dengkulku, memalingkan wajahnya dan memandang ke kepala Wiwin yang sedang terbenam di selangkanganku.
"Masuk sampai kerongkongan ya No? Enak ya?", aku hanya mengangguk.
Sungguh di antara kami tidak ada rasa malu lagi, saling berdiskusi dengan biasa begitu saat sedang bercinta.
"Ikutan yok. Daripada dingin-dingin, kita lanjutin pesta orgi semalam", ajakku.
Atok mengangguk dan berdiri menuju pinggul Wiwin. Dengan tenang dan profesional dibukanya bongkahan pantat Wiwin yang bahenol. Kemudian dijulurkannya lidahnya dan dijilatinya lubang pantat Wiwin dengan bersemangat. Tindakan yang mungkin dahulu tidak terbayangkan dan menjijikkan, sekarang sudah rutin kita lakukan berkat pelajaran si Wiwin. Setelah lubang itu basah, Atok berdiri dan mulai mengarahkan batang kemaluannya ke lubang pantat yang berkerut kemerahan itu. Sekali tekan, masuklah batang kemaluannya ke dalam pantat si Wiwin (itu memang lubang favorit si Atok).
Dia mulai menggoyangkan pantatnya naik turun, matanya merem melek merasakan kenikmatan yang entah sudah berapa puluh kali dirasakannya dalam dua bulan terakhir ini. Sedangkan mulut Wiwin mulai bergerak naik turun, mengulum kemaluanku yang juga sudah tegang. Setelah beberapa lama, aku melepaskan kulumannya dari kemaluanku.
Aku memerintahkan, "Win, isep bolaku dong. Jilatin lubang pantatnya sekalian."
Wiwin dengan patuh menurut, memasukkan bola kemaluanku ke mulutnya dan menyedot dengan kuat sehingga terdengar suara berkecipak.
Aku mulai terangsang berat, seperti biasanya. Kutarik-tarik rambut Wiwin yang ikal, dan tangannya kubimbing untuk memegang batang kemaluanku yang sudah tegak berdiri dan mengocoknya. Lidah Wiwin sekarang berpindah sasaran, mulai menjilati lubang pantatku dengan bersemangat. Nikmat sekali.
Sepanjang kami bermain tersebut, Dwi sama sekali tidak bergairah untuk ikut. Mungkin dia mulai bosan juga, setiap hari main seks seakan tidak ada habis-habisnya. Dia hanya memandang aktivitas kami selintas dan kembali memperhatikan sinetron di TV (pemainnya Meriam Bellina, yang ukuran dadanya kayaknya hampir sama dengan dada si Wiwin). Sebaliknya aku dan Atok semakin naik nafsunya, sehingga sofa tempat kami duduk terdengar berderit-derit. Kemaluanku dikulum lagi oleh Wiwin, disodokkan sedalam-dalamnya hingga mendesak ke dalam kerongkongannya. Sungguh wanita profesional dan penuh pengalaman, kalau wanita lain pasti sudah muntah-muntah karena tersedak.
Aku menggerakkan kepalaku ke depan dan ke belakang menahan nafsu. Mataku tertutup, sedangkan tanganku seperti biasa meremas-remas buah dada si Wiwin. Duuh.., seandainya bisa, kenikmatan harian macam begini jangan sampai pernah berakhir, pikirku. Coba, kalau main ke pelacuran, berapa duit harus habis karena ngentot tiap hari kaya begini, hayo? Belum lagi penyakitnya. Kan kalau Wiwin jelas bersih.
Bersih? apa betul?
Saat segala pikiran berseliweran di kepalaku dan ditambah nafsu yang membara karena sedotan-sedotan professional si Wiwin, samar-samar kudengar pintu depan berderit terbuka. Angin dingin menerpa masuk, seiring dengan suara deras hujan yang sedang mengguyur. Aku membuka mataku, dan kulihat Dwi dan Atok memandang ke pintu di belakang tubuhku dengan melongo. Aku cepat cepat menoleh ke belakang..
Itu si Roni, bekas pacar si Wiwin, yang sudah hampir dua bulan ini tidak pernah nongol di rumah kost ini. Dia memakai jas hujan yang basah kuyup. Dan di kepalanya yang juga basah kuyup, terpampang wajah yang menampakkan ekspresi sangat aneh, kaget dan keheranan.
Wiwin juga melihatnya, dan anehnya tampak dia sama sekali tidak kaget atau risih.
"Eeii, Bang Roni abangku sayang, tumben ke sini. Ayo masuk, gabung main yok. Lagi enak enaknya nih".
Katanya lucu, sambil menarik-narik dan memutar-mutar batang kemaluanku secara demonstratif. Sebaliknya, akulah yang jadi jengah luar biasa. Kulepaskan genggaman tangan Wiwin dari kemaluanku, dan mencoba menjelaskan pada Roni.
"Ron, aku..", suaraku tercekat di kerongkongan.
Kulihat Roni berdiri mematung. Tiba-tiba wajahnya yang tadinya menampakkan keheranan, kini berubah. Kukira akan kulihat ledakan kecemburuan, tetapi ternyata tidak. Kulihat wajahnya mengernyit, seakan menampakkan kengerian yang sangat. Tangannya bergetar, dan dia melempar setumpuk buku yang dibalut plastik supaya tidak kehujanan.
"Gua kesini cuman mau kembaliin diklat loe, No", katanya.
Setelah itu secepat kilat dia berbalik, membanting pintu dan menghilang di kegelapan malam berhujan. Samar-samar kudengar suara sepeda motor distarter dan bannya berdecit ketika berputar tiba-tiba dengan kecepatan tinggi.
Aku berdiri seperti patung, tetap memandang ke arah pintu yang sudah tertutup itu. Aku baru tersadar ketika mendengar suara tawa Wiwin.
"Heii.., kenapa kok berdiri kaya orang bego begitu? Sini dong Mas, terusin main emutnya, udah tanggung nih. Wiwin belum ngerasain mani sedikitpun hari ini nih".
Tapi aku menepis tangannya dengan cepat. Rasa jengah dan malu tadi menyadarkan aku bahwa tindakanku dan teman-temanku ini sudah keterlaluan. Aku cepat-cepat pergi ke kamarku, meninggalkan Wiwin dan Atok (yang kemaluannya masih menancap di pantat Wiwin) memandang kebingungan. Aku segera mematikan lampu dan menggelosor di dipanku.
Pagi harinya..
Aku keluar kamar dengan wajah kuyu, siap mandi untuk ke kampus. Waktu melewati ruang tamu, kulihat Wiwin, Atok dan Dwi sedang tidur di karpet, telanjang bulat (kayaknya si Dwi terangsang juga, menggantikan posisiku semalam). Wiwin tidur dengan kepalanya bertumpu di selangkangan Dwi, wajahnya setengah terbenam dalam kelebatan bulu kemaluan Dwi. Mulutnya setengah terbuka, dan di dalamnya terselip batang kemaluan Dwi yang sudah mengkerut. Di pinggir bibirnya masih kulihat mani mengering, tampaknya Dwi sudah menyemprot ke mulutnya habis-habisan semalam. Dan mereka langsung tidur, tanpa mengubah posisi terakhir mereka.
Aku menghela napas dan menggeleng. Dasar perek, pikirku. Sungguh luar biasa daya pikatnya, sehingga kami seperti tersihir dan mau saja melayani nafsu seksnya setiap hari. Aku keluar dan menstarter sepeda motorku menuju kampus.
Hanya sepuluh menit, aku sudah sampai ke halaman parkir kampus. Aku kaget ketika kulihat Roni berdiri di pinggir tempat parkir, jelas dia menungguku. Rasa jengah kembali menyergapku, aku pura-pura tidak melihatnya dan bergegas ke gedung rektorat yang letaknya tepat di depan pelataran parkir, diapit dua gedung kuliah yang menjulang tinggi (hayo tebak, aku ada di kampus mana). Dari sudut mataku kulihat Roni mengikuti. Aku pura-pura tetap tidak melihat, bergegas menuju ruang rektorat. Di lorong aku berbelok ke kiri, menuju ruang admnistrasi kampus. Tetapi di sana ternyata Roni sudah mencegat.
Dipegangnya tanganku dengan erat, "No, gua mau bicara".
Aku berusaha menyembunyikan rasa jengahku, "Masalah apa Ron?", tanyaku.
"Masalah semalam, masalah si Wiwin".
Aku mengutuk dalam hati. Apa lagi maunya?
Aku pura pura bersikap tegas.
"Ron, kayaknya kita harus menempatkan masalah sesuai proporsinya ya. Setahuku si Wiwin sudah bukan pacarmu lagi, jadi apapun yang dia lakukan itu hak dia penuh. Kamu tidak boleh cemburu".
Mendengar itu Roni menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Cemburu apaan? Aku sama sekali tidak ada rasa cemburu lagi, No. Cuma aku kasihan sama kalian. Mau aku jelaskan?"
Aku mengangguk. Kami beriringan keluar dari gedung rektorat dan menuju kantin di kiri bangunan. Kami duduk dan memesan es jeruk. Roni mengocok sendok di gelasnya dan bertanya dengan suara bergetar.
"Udah berapa lama kalian lakukan yang kayak semalam itu No?", tanyanya.
Aku agak tersinggung, "Apa urusanmu sih Ron? setiap hari kek kami lakukan, itu urusan kami. Suka sama suka kok".
Mendengar jawabanku, anehnya Roni sama sekali tidak tersinggung. Malah di wajahnya terbersit pandangan kasihan.
"No, No, elo kan temen gua juga. Aku bertanya begitu bukan karena mau intervensi privacy kalian, tetapi untuk mengingatkan kalian bahwa si Wiwin itu kan sakit. Elo tahu sakit apa dia?", aku menggeleng.
"Sakit apa dia?", tanyaku.
Roni memandangku lekat-lekat.
"Jangan kaget No. sakitnya berat sekali, Acquired Immune Deficieny Syndrome. Tahu lu?"
"Nggak", kataku seperti orang bego (orang ekonomi macem aku mana tahu nama penyakit).
"Apa itu?".
Roni menghela napas.
"Acquired Immune Deficiency Syndrome. Kalau gua sebut singkatannya elo pasti kenal, AIDS".
Aku terlompat, "Ha? AIDS?" aku terdiam, seperti tidak bisa berkata-kata.
Akhirnya aku meledak.
"Elo ngaco Ron. Nggak mungkin. Elo cuman mau nakuti gua karena elo cemburu. Ya kan? Ya kan?", tanpa sadar aku mencondongkan tubuhku ke depan.
Beberapa mahasiswi di sebelah mejaku memandang tingkahku dan tersenyum-senyum mendengar kata-kataku yang cukup keras. Paling cowok lagi rebutan pacar, pikir mereka.
Roni menggelengkan kepalanya dengan keras.
"Demi Tuhan, No. aku tidak bohong. Dia itu ternyata sudah mengidap virus HIV bertahun-tahun yang lalu, tertular akibat permainan seks bebas dan pakai narkoba. Dua bulan lalu, dia mulai sakit. Batuk-batuk, panas, dikira sakit paru-paru biasa. Ternyata sakitnya sudah berkembang menjadi "full blown" AIDS. Batuknya itu adalah penyakit Pneumaticis Carinii, yang sering diidap penderita AIDS. Aku dengar kalau akhir-akhir ini sudah timbul bercak-bercak hitam di kulitnya. Bu Hidayat yang cerita lewat telepon, benar?"
Aku mengangguk. Mulutku terasa kering. Ternyata si Roni tetap memantau kondisi bekas kekasihnya itu.
"Itu penyakit kanker kulit, Sarcoma Kaposii. Dia benar-benar sakit parah, No. Dan kamu pasti tahu, AIDS sangat menular. Belum ada obatnya. Maka itu dia akan pergi ke Amsterdam, paling tidak di sana dia bisa dirawat lebih baik, sekedar memperpanjang hidupnya saja."
Aku makin kebingungan.
"Tetapi dia kan tahu penyakitnya Ron? Kalau tahu penyakitnya menular, kenapa dia masih saja mau main dengan cowok?".
Roni menghela napas, "Ha, itulah gilanya. Dia sangat dendam pada cowok-cowok yang telah menularinya dahulu, dan dia pernah histeris di rumah sakit, berteriak-teriak kalau dia mau menulari cowok lain sebanyak-banyaknya. Kukira waktu itu dia cuma bercanda doang, tetapi sungguh aku kaget melihat kalian kemarin main pesta seks dengan dia segitu gilanya. Pasti dia sudah merencanakan sebelumnya. Orang dia sebenarnya tidak hiperseks kok. Nafsunya biasa-biasa saja. Kalau dia melakukan seperti dengan kalian itu, tentu karena dia bermaksud menulari kalian semua".
Dia menerawang, "Untungnya gua tidak kena getahnya. Gua dulunya benar-benar mau serius dengan dia, makanya gua tidak mau main aneh-aneh, meskipun dia terus menggoda. Jadi waktu dia diketahui positip, gua bebas. Wong kita putus hubungan juga dengan baik-baik kok. Dia maklum alasanku tidak meneruskan hubungan itu karena sakitnya".
"Jadi, bagaimana denganku?", kataku, benar-benar seperti orang bengong.
Roni tertawa getir, "Lha, mana aku tahu kamu sudah ketularan atau belum? Ya cepat-cepat sajalah kalian berempat periksa ke dokter.
"Dia meneruskan tawanya, "Kalau nggak ketularan, ya syukur. Kalau ketularan, ya sudah mau apa. Tinggal menghitung umur saja. Toh, kalian juga sudah merasakan kenikmatannya, ya toh?"
Kepalaku terasa berputar. Kulihat Bapak dan Ibuku yang sudah tua, tetap bekerja membanting tulang di tokonya untuk mendapatkan dana kuliah untukku dan adik-adikku. Pandanganku beralih, pada tubuh seksi si Wiwin dan gayanya tiap pagi ketika membangunkanku dengan cara mengisap batang kemaluanku dan berkata dengan manja, "Selamat pagi, kontolku sayaang..".
Aku menunduk lemas. Pandanganku semakin lama semakin gelap.
No comments:
Post a Comment